Senin, 01 Februari 2010

EMPAT MACAM BELENGGU MANUSIA
Oleh: Drs. H. Aprizaldi

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra : 70)
Makhluk manusia yang diinginkan oleh Allah adalah manusia yang bebas dan merdeka menurut asal penciptaannya, yang tidak diikat oleh rantai belenggu yang menjeratnya, sehingga ia dapat bebas mencapai cita-cita luhurnya sesuai dengan fungsi hidayah dan akal yang mengiringi pisiknya.
Cita-cita mulia manusia adalah menjadi insan kamil, menjadi hamba Allah yang shalih, yang mengabdikan dirinya pada kehendak Ilahi, menegakkan kebenaran, melawan kebathilan dan mewujudkan kehidupan yang adil, damai dan sentosa. KH. Ahmad Dahlan melalui gerakan Muhammadiyah berupaya mencapai cita-cita tersebut.
Kebanyakan manusia gagal mencapai cita-cita luhurnya itu, karena tidak berhasil melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang mengikatnya. Manusia adalah makhluk yang aneh. Dihadapannya terletak ribuan kemungkinan atau pilihan yang dapat dilakukannya, dari yang paling hina sampai kepada yang paling mulia. Semakin berhasil manusia melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya semakin mudah ia mendekati cita-cita luhurnya. Sebaliknya, semakin erat ikatan belenggu-belenggu itu menjerat dirinya, maka semakin dalam pula kejatuhannya pada lumpur kenistaan.
Adapun belenggu yang menjerat manusia adalah:

PERTAMA - BELENGGU ALAM
Belenggu alam adalah belenggu yang paling mudah untuk mengatasinya. Manusia adalah makhkuk alam. Ia hidup di dalam alam oleh karena itu ia sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tersebut. Jika udara sangat dingin, manusia akan merasa kedinginan. Jika udara terlampau panas manusiapun akan kegerahan karena panas. Bencana alam seperti gempa, banjir, longsor dan tsunami akan sangat mempengaruhi keterbatasan gerak gerik manusia.
Andaikan manusia terus menerus menuruti kehendak alam ia akan tergantung sepenuhnya pada alam bukan kepada yang punya alam, Kebebasan gerak menjadi hilang. Ia akan diperbudak oleh alam.
Manusia harus berhasil membebaskan diri dari belenggu alam. Jika musim panas diciptakan AC. Udara dingin diatasi dengan heater. Jika jarak jauh dibikin alat transportasi dan kalau ditempat domisili tidak memungkinkan lagi untuk hidup layak harus hijrah ke tempat lain.
Bagi orang yang beriman diharuskan mampu mengatasi belenggu alam misalnya dengan melemparkan selimut dikala dingin tengah malam untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah untuk melaksanakan shalat Tahajjud dalam rangka berusaha menjadi manusia yang mulia dihadapan Tuhannya.
Belenggu alam paling mudah untuk diatasi dengan ilmu pengetahuan dan kemauan yang kuat, alam karena alam diciptakan Allah untuk manusia dan manusia telah ditunjuk untuk menjadi khalifah di bumi ini.

KEDUA - BELENGGU TRADISI
Tradisi yang sudah turun-temurun pada hakekatnya juga menjadi penjara yang mengungkung gerak manusia. Pada umumnya manusia cenderung beranggapan bahwa apa yang sudah diwarisi nenek moyang merupakan kebenaran yang harus diterima dan dilestarikan walaupun sebahagian besarnya tidak logis.
Dalam masyarakat kita belenggu tradisi ini dapat diamati dengan jelas. Semua lapisan masyarakat kita sudah dibelenggu oleh berbagai tradisi yang sangat membebani serta irrasional itu. Contoh menanam kepala kerbau pada setiap peresmian jembatan atau gedung baru. Apa hubungan penanaman kepala kerbau dengan keselamatan jembatan dan kokohnya suatu bangunan yang didirikan ?. Pada hal jika jembatan dan gedung itu dibangun dengan konstruksi dan bahan yang benar berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar insya Allah tidak akan roboh. Tetapi walaupun ditanam seribu kepala kerbau jika dibuat asalan, bahannya dikorup pasti tidak akan tahan lama.
Manusia tidak lagi memohon keselamatan kepada Allah Yang Maha Pencipta tetapi justru meminta kepada makhluk yang lebih derajatnya jauh lebih rendah dari manusia.
Dalam Al-Qur`an Allah berfirman: Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenen moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ? (QS.Al-Maidah : 104)
Hanya manusia mukminlah yang mampu menjebol belenggu tradisi karena kekuatan Allah diatas segalanya. Ia Maha Besar, Maka Berkuasa dan Maha Suci.
Apa bila kita mengakui ada kekuatan lain selain kekuatan Allah yang ditakuti dan dimohon pertolongannya, dimanakah letak ayat yang sering kita baca setiap raka’at Shalat: Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkau saja kami minta tolong. (QS.Al-Fatihah : 5)

KETIGA - BELENGGU MASYARAKAT
Kita hidup ditengah-tengah masyarakat manusia. Jadi tidak heran bila arus masyarakat sering menjerat kita dan sulit untuk menghindarinya. Dengan demikian mudah dipahami bahwa mengapa kebanyakan manusia tidak mau menentang apa yang menjadi arus masyarakat sehingga merekapun hanyut dibawa arus kebiasaan masyarakat tersebut.
Ternyata masyarakat dengan kuat sekali membelenggu orang lain misalnya soal pakaian terutama dikalangan kaum remaja putri karena wanita idolanya memakai pakaian modern yang memamerkan sebagian besar auratnya dan seronok maka jarang sekali wanita lain yang tidak ikut-ikutan cara berpakaiannya itu.
Hanya wanita muslimahlah yang mampu mengatasi belenggu masyarakat tersebut. Ia bertahan dengan berbusana muslimah mungkin ia termasuk minoritas, menantang arus dan bisa difonis tradisional.

KEEMPAT - BELENGGU EGO
Dibandingkan dengan belenggu alam, tradisi dan masyarakat maka belenggu ego adalah yang paling sulit diatasi. Ego, nafsu atau ananiyah kita pada hakekatnya dapat memenjarakan kita sendiri. Ego itu berada dalam diri, jadi yang memenjara dan yang dipenjara, yang membelenggu dan yang dibelenggu selalu bersamaan. Manusia yang sudah terbelenggu oleh egonya bahkan kemudian akan mempertaruhkan ego itu. Ia menjadi manusia yang tamak, loba dan serakah. Ia tidak puas dengan apa yang dimilikinya walaupun secara kasat mata dia sudah kaya raya.
Masyarakat yang manusianya sudah terbelenggu oleh ego akan menjadi masyarakat yang resah gelisah, hidup nafsi-nafsi, spirit kerja sama serta tolong menolong menjadi sirna bahkan bisa menjadi masyarakat yang exploitative. Pihak yang kuat memeras dan menindas yang lemah dan yang kaya menghisab si miskin sehingga kepincangan semakin lebar.
PEMIMPIN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Drs. H. Aprizaldi
Firman Allah: Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (QS. Al-Anbiyah : 105)
Indonesia adalah negara demokratis dan berpenduduk Islam terbesar didunia harus bebas dari sikap anargis dan kudeta. Pada suatu Hadist : Apabila ada 3 orang sedang berpergian (musyafir) maka hendaklah kamu mengangkat salah seorang Imam diantara kalian.
Jika tiga orang saja perlu diangkat pemimpin, maka apalagi negara Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta, maka urgensi pemimpin sangat perlu dipilih dan diangkat seorang sebagai pemimpin. Pada kondisi kita akan pemilihan anggota legislatif, maka ummat Islam agar tidak golput (tidak ikut memilih). Pada saat pemilu 9 April 2009 mendatang, maka wajib dipilih caleg yang memenuhi kualifikasi keta'atan dan diambil yang paling taat.
Hal ini seperti saat memilih seseorang untuk menjadi Imam Sholat, yaitu: orang yang lebih fasih bacaannya, yang lebih paham Sunah Nabi, yang lebih dulu berhijrah/masuk Islam, yang lebih cerdas.
Bisa juga melihat sifat-sifat Nabi sebagai kriteria untuk menjadi pemimpin, yaitu: shiddiq (orang yang benar), amanah (orang yang jujur), tabligh (menyampaikan ayat-ayat Allah) dan fathonah (orang yang cerdas, meliputi kecerdasan intektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Islam sangat memberikan perhatian yang lebih pada masalah kepemimpinan, karena hidup ini harus ada yang memimpin dan tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan. Dulu pada awal Islam pemimpin kaum Muslimin adalah langsung dikendalikan oleh Rasulullah saw. dengan bimbingan wahyu Allah.
Betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dalam sejarah saat meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika saat itu sempat tertunda pemakaman Rasulullah saw, dimana para sahabat berkumpul dirumah Bani Saits untuk memilih kepemimpinan para kaum Muslimin. Para sahabat mendahulukan pemilihan kepemimpinan ini karena menyadari betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan kepemimpinan itu tidak boleh kosong.
Pada waktu itu terpilih Abu Bakar Shiddiq ra. sebagai pemimpin kaum muslimin dan kita ketahui bersama apa saja alasan para shahabat memilih Abu Bakar. menjadi pemimpin. Alasan tersebut antara lain : Abu Bakar paling tua diantara para shahabat. Abu Bakar paling dekat kepada Nabi Muhammad saw terlihat sebagai orang yang menemani Rasulullah saat Hijrah. Ketika Nabi sedang sakit payah, maka Abu Bakar lah yang ditunjuk Rasulullah sebagai Imam Sholat. Abu Bakar lah orang yang pertama kali membenarkan Isra' dan Mi'raj Rasulullah saw. Ketika semua orang tidak mengakuinya sehingga mendapat gelar ash-shidiq. Dan lain lain.
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang terpusat perhatiannya pada pemilihan senator DPRD Kabupaten Rejang Lebong, DPRD Propinsi Bengkulu, DPR dan DPD RI, karena memang masyakat Indonesia sangat mementingkan dalam masalah kepemimpinan. Karena pemimpin itu merupakan wahyu Allah dimuka bumi yang disebut kholifah, artinya pengganti.
Memilih adalah menentukan sesuatu yang paling disukai diantara banyak pilihan dengan cara mengambil yang terbaik dan membuang yang jelek. Menentukan pilihan ditengah banyaknya alternatif membutuhkan kecekatan, apalagi barang pilihan itu tampaknya sama baiknya, sepadan atau setara satu sama lain. Kesamaan keadaan ini tidak jarang membuat orang bingung. Ada yang bingung karena faktor bendanya yang tidak jelas atau karena faktor orangnya yang kurang mengerti kualitas barang serta kepintaran orang menjual barang dagangannya. Bingung yang mengacaukan hati adalah pada saat faktor pemicunya itu datang dari penjaja barang yang terlampau lihai menjual barang dagangannya. Dan yang paling menyakitkan lagi adalah jika pada akhirnya pilihan itu ternyata salah.
Islam tidak mengizinkan penganutnya menjadi umat yang bingung atau sengaja bermain dalam lingkaran kebingungan. Disinilah arti penting agama sebagai panduan dan pedoman kehidupan, menjadi keniscayaan seperti Firman Allah: Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (QS. Adh-Dhuha : 7). Ayat ini menggariskan, bahwa kunci kebingungan adalah petunjuk, dan sebaik-baik petunjuk adalah Al-Quran yang didasarkan pada fundamental Iman yang benar, seperti disebutkan dalam firman-Nya yang lain (QS. Asy-Syura : 52).
Rasulullah ketika menjalani perjalanan Isra' dan Mi'raj, memilih susu (yang sedikit anyir) dari pada meminum Khamar (yang sangat enak dan menggiurkan). Jibril pun memujinya: Pilihanmu benar Ya Rasulullah ! kata Jibril. Pilihan yang benar adalah pilihan yang sesuai dengan suara hati sekaligus panggilan Iman bukan atas dasar paksaan, tekanan, pemberian sesaat atau tipuan gombal caleg atau pihak lain.
Jadi pemimpin seperti apa yang sebaiknya diangkat oleh ummat Islam Indonesia ini? Secara umum Al-Qur'an sudah memberikan kriteria pemimpin yang harus dipilih yaitu firman Allah diatas (QS Al-Anbiya': 105). Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia dimuka bumi ini hanyalah orang-orang Sholeh, bukan orang-orang kafir yang akan membuat kerusakan dan mengundang bencana. Jika orang engkar memimpin dimuka bumi ini, maka terlihatlah dunia ini bukan semakin baik, tapi malah rusak dan hancur.
Kriteria orang sholeh itu bisa dilihat ayat Allah: "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)". (QS Al Maidah : 55). Jadi kriteria orang sholeh yaitu : mendirikan Sholat, membayar Zakat, dan tunduk pada aturan Allah.
Dalam agama Islam ada dua komponen yang tidak bisa terpisahkan, yaitu kekuasaan dan agama. Seperti kata Ibnu Taimiyyah: agama Islam tidak akan bisa tegak/abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang dengan agama.
Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Walayat al-Diniyyah. Kitab ini memang menjadi rujukan penting dalam hal hukum tata negara dan kepemimpinan dalam Islam bahwa syarat-syarat seorang pemimpin adalah adil, mempunyai kompetensi ijtihad, sempurna dan sehat panca-indra, tidak cacat secara fisik, mempunyai visi kemaslahatan sosial, tegas dan berani, serta mempunyai garis keturunan yang jelas.
Pengangkatan dan Pengisian Jabatan Politik Sistem politik sekuler modern yang diperkenalkan lewat proses kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa, telah menempatkan sistem politik Islam termarginalkan di negara-negara muslim sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tataran empirik sulit mencari sebuah negara muslim yang bisa dijadikan model sistem politik Islam yang sesuai dengan praktik-praktik politik kenabian dan para sahabat.
Aturan politik Islam penting dipertimbangkan karena ia berkaitan secara langsung dengan sistem rekrutmen politik atau sistem pemilihan pemimpin dalam pemerintahan. Hal ini sangat penting untuk memberi penjelasan terhadap mekanisme pemilihan pemimpin dan pengisian jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan diantara persoalan yang diperselisihkan setelah kewafatan Rasulullah SAW adalah persoalan kekuasaan politik atau persoalan al-imamah.
Makna memimpin masyarakat ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah tentang kepemimpinan ummat.
Kepemimpinan para nabi bertujuan untuk mengusahakan agar rakyat kembali hidup sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar. Dengan pemikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Tauhid.
Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik).
Semoga kita diberi kekuatan untuk ikut berpartisipasi memilih pemimpin yang akan datang. Mudah-mudahan pilihan kita tidak salah. Bagi pemimpin yang terpilih, Nabi bersabda :
AJARAN POKOK NABI MUHAMMAD SAW
Oleh: Drs. H. Aprizaldi
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda. Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit / Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi / Rasulullah s.a.w).
Ajaran pokok Rasulullah saw menurut Hadits diatas adalah :
1. Islam
Islam artinya berserah diri kepada Tuhan, adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (diturunkan dari langit). Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti penyerahan, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti seorang yang tunduk kepada Allah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah : 208).
Ada pun rukun Islam terdiri dari 5 macam. Barang siapa yang tidak mengerjakannya maka Islamnya tidak benar karena rukunnya tidak sempurna :
Pertama yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Asyhaadu alla ilaaha illallaahu wa asyhaadu anna muhammadar rasuulullaah. Artinya kita meyakini hanya Allah Tuhan yang wajib kita patuhi perintah dan larangannya. Konsekwensi dari 2 kalimat syahadat adalah kita harus mempelajari dan memahami Al Qur’an dan Hadits yang sahih dan mengamalkannya
Kedua adalah Shalat 5 waktu, yaitu: Subuh 2 rakaat, Dzuhur dan Ashar 4 raka’at, Maghrib 3 rakaat, dan Isya 4 raka’at. Shalat adalah tiang agama barang siapa meninggalkannya berarti merusak agamanya.
Ketiga adalah Puasa di Bulan Ramadhan. Yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, bertengkar, marah, dan segala perbuatan negatif lainnya dari subuh hingga maghrib.
Keempat adalah membayar Zakat bagi para muzakki (orang yang wajib pajak/mampu). Zakat merupakan hak orang miskin agar harta tidak hanya beredar di antara orang kaya saja.
Kelima adalah Haji ke Mekkah jika mampu. Mampu di sini dalam arti mampu secara fisik dan juga secara keuangan. Nabi berkata barang siapa yang mati tapi tidak berhaji padahal dia mampu, maka dia mati dalam keadaan munafik.
2. Iman
Iman artinya percaya. Perkataan iman diambil dari kata kerja 'aamana' yukminu' yang berarti percaya atau membenarkan. Iman itu ditujukan kepada Allah, Rasul dan Para Imam.
Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang didalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip.
Firman Allah : Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS. Al-Qashasha : 70 ).
Tanpa iman semua amal perbuatan baik kita akan sia-sia. Tidak ada pahalanya di akhirat nanti.
Firman Allah : Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun (selain pasir kepanasan) (QS. An Nuur : 39).
Firman Allah : Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS. Ibrahim : 18).
Iman ini harus dilandasi ilmu yang mantap bukan sekedar taqlid atau ikut-ikutan. Sebagaimana hadits di atas. Rukun Iman ada 6:

Pertama Iman kepada Allah. Artinya kita meyakini adanya Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah. Di bab-bab berikutnya akan dijelaskan secara rinci tentang hal ini.
Kedua adalah iman kepada Malaikat-malaikat Allah. Kita yakin bahwa Malaikat adalah hamba Allah yang selalu patuh pada perintah Allah.
Ketiga adalah beriman kepada Kitab-Nya. Kita yakin bahwa Allah telah menurunkan Taurat kepada Musa, Zabur kepada Daud, Injil kepada Isa, dan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad. Kita harus meyakini kebenaran Al Qur’an dan mengamalkannya:”Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” [Al Baqarah:2].
Keempat adalah beriman kepada Rasul-rasul (Utusan) Allah. ( QS. Al Ahzab : 40).
Kelima adalah beriman kepada Hari Akhir (Kiamat/Akhirat). Kita harus yakin bahwa dunia ini fana. Suatu saat akan tiba hari Kiamat. Pada saat itu manusia akan dihisab. Orang yang beriman dan beramal saleh masuk ke surga. Orang yang kafir masuk neraka. Selain kiamat besar kita juga harus yakin akan kiamat kecil yaitu mati. Setiap orang pasti mati. Untuk itu kita harus selalu hati-hati dalam bertindak.
Keenam adalah percaya kepada Takdir/qadar yang baik atau pun yang buruk. Meski manusia wajib berusaha dan berdoa, namun apa pun hasilnya kita harus menerima dan mensyukurinya sebagai takdir dari Allah.
3. Ihsan
Ihsan artinya berbuat baik dengan mengharapkan ridha Allah. Artinya : berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu. (QS. Al-Qashash : 77 ).
Ada pun Ihsan adalah cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah. Kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah. Jika tidak bisa, kita harus yakin bahwa Allah SWT yang Maha Melihat selalu melihat kita. Ihsan ini harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga jika kita berbuat baik, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika terbersit niat kita untuk berbuat keburukan, kita tidak mengerjakannya karena Ihsan tadi.
Orang yang ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya.
PENGARUH MAKANAN PADA PERILAKU
Oleh : Drs. H. Aprizaldi
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-baqarah 172).”
Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk memahami hakekat Islam secara utuh. Konsep inilah yang menjadi landasan pokok dakwah Muhammadiyah. Umat Islam dituntun mengenal Islam tidak hanya sekedar konsep teoritis, melainkan harus diterjemahkan ke dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari termasuk dalam masalah makanan.
Kita mengenal dua macam istilah makanan dan minuman dalam Islam. Pertama halal berarti “diizinkan“ atau “dibolehkan”. Istilah ini dalam konotasi sehari-hari sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi menurut Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam.
Kedua haram adalah sebuah status hukum terhadap sesuatu dalam hukum Islam, yang konsekuensanya berupa dosa. Makanan atau minuman tertentu dapat memiliki status haram sehingga memakan san meminumnya juga berakibat dosa.
Setiap orang beriman diperintahkan oleh Allah SWT. untuk senantiasa mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal lagi baik yaitu mengandung gizi dan vitamin yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Dua hal di atas, baik disamping akan menyebabkan terjaganya kesehatan jasmani, juga akan semakin mendorong meningkatkan ketakwaan serta syukur kepada Allah SWT. Sebaliknya, makanan yang haram baik substansi mauoun cara mendapatkannya, meskipun secara lahiriyah mengandung gizi dan vitamin yang memadai, akan menumbuhkan perilaku yang buruk dan merusak, baik bagi diri dan keluarganya. Dari alam dunia bahkan sampai nanti di alam akhirat.
Rasulullah SAW. Bersabda : setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka nerakalah yang lebih utama tempatnya. (HR. Thabrani). Artinya yang haram itu akan menjadi darah dan kotor yang dapat mendorong perilaku jahat, saesat dan merusak.
Makanan maupun minuman termasuk binatang yang diharamkan secara zat, sangat mudah untuk diketahui, karena jumlahnya sangat sedikit dari jumlah yang ada, dan hampir semua orang mengetahuinya, yaitu : bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah SWT. (kecuali dalam keadaan darurat) (QS. Al-Baqarah : 172-173), binatang yang mati bukan karena disembeli (QS. Al-Maidah : 3) dan khamar (QS. Al-Maidah : 90).
Disamping zatnya yang harus lebih diperhatikan juga sifat harta itu yang memerlukan perhatian, pikiran, hati dan keimanan untuk menentukan cara mendapatkannya. Misalnya tidak melalui penipuan, kerupsi, membungakan uang, menerima suap dan cara-cara bathil lainnya. Apalagi mengambil harta milik orang banyak yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Allah SWT. berfirman : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dngan jalanyang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu sendiri mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188).
Barang yang tidak jelas kehalalannya (syubhat) saja dilarang untuk dikonsumsi atau dimiliki, apalagi yang jelas keharamannya. Disinilah nilai keimanan dan keislaman seseorang diuji. Bahkan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. oleh seseorang walaupun dengan sangat sungguh-sungguh, akan tetapi orang itu bergelimangdengan makanan dan minuman yang haram, maka doa akan tertolak (HR. Muslim). Dan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa kemabruran (diterima) atau kemardudan (ditolak) haji yang dilakukan oleh seseorang bergantung kepada biaya yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji tersebut.
Demikian pula perilaku anak keturunan manusia sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Oleh karena itu orang-orang Islam pasti akan selalu berusaha mendapatkan rizki yang halalan thayyibah, baik bendanya maupun cara memperoleh agar perilakunya istiqamah dalam kebajikan.
Terhadap sikap dan tingkah laku, pengaruh barang haram ini juga membuat jiwa tidak pernah tenang dan tentram, selalu gelisah, keluh kesah, diliputi rasa takut dan was-was karena selalu dipengaruhi oleh perasaan berdosa sebagai akibat dari darah dan dagingnya memang tumbuh dari benda-benda yang haram.
Rasul, Nabi dan orang-orang yang saleh menjadikan makanan dan minuman sebagai awal dari pola hidupnya. Dengan melalui latihan dan kebiasaan yang rutin, sehingga orang-orang saleh ini mempunyai alat untuk mendeteksai makanan dan minuman halal atau tidak. Sebagian hasil dari latihan jiwa ternyata mampu untuk mengetahui apa yang dikonsumsi akan memberiakn ketenangan kalau halal, dan menimbulkan goncangan yang luar biasa, apabila benda itu berasal dari yang haram.
Masalahnya kembali kepada ketiak kita mengkonsumsi yanghalal atau yang haram. Adakah perbedaan? Jika tidak ada, perlu latihan dan pembiasaan dalam pola hidup, agar sinyal pendeteksi yang halal atau yang haram dalam tubuh kita tetap on line.
ALKISAH
Seorang sufi muntah-muntah setelah makan siang. Ia bertanya-tanya di dalam hati, apa gerangan yang salah di dalam dirinya. Bertahun-tahun ia menempuh hidup secara teratur. Makan dan minumnya dalam jumlah yang diatur sesuai tuntunan biologis. Tak ada makan dan minum tanpa tuntutan gengsi maupun selera zaman. Ia berpendirian bahwa makan dan minum baginya cuma sebagai sarana memuji kebesaran Allah SWT. Cuma itu. Tak ada fungsi lain. Dan ia selalu sehat. Porsi, jenis dan fungsi makan yang ia tetapkan sudah benar. Tak ada sesuatu pun yang salah. Tapi mengapa sekarang ia muntah-muntah? Ia tidak masuk angin. Perutnya sedang tidak mulas, pokoknya badannya sehat.
Maka dipanggil pembantunya. Ia merasa bahwa dari si pembantu penjelasan bisa diperoleh. “Dari mana dibeli sayuran yang dimasak hari ini?”. Tanya sang sufi. Pembantunya melaporkan apa adanya. Tadi ia agak kesiangan ke pasar. Sayuran yang dijual di pasar sudah habis. Maklumlah pasar yang kecil lagi baru. Pedagang pun terbatas. Sebagian bahkan sudah pulang. “Untunglah digalang sawah tetangga kita ada daun kacang panjang. Saya memetiknya segenggam, itulah sayuran yang saya masak hari ini.” Jawab pembantu polos. Sang sufi mangguk-mangguk. Ia sekarang tahu jawabannya, daun kacang itulah penyebab muntah-muntahnya.
Selama ini ia hanya memakan makanan yang halal. Apa yang dimakan diperoleh secara halal. Tak ada barang gelap yang tak jelas status hukumnya. Ia tahu pembantunya salah. Tapi tak disalahkan.
Senin, 2009 April 13
MEMPERERAT SHILATURRAHMI
Oleh: Drs. H. Aprizaldi


Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. (QS. Ali Imran : 112)

Kalau ingin menyaksikan wajah cerah sumringah berhias senyum rekah dan bibir selalu memuji Asmaul Husna, berkelilinglah pada Hari Raya ini. Dijamin akan sulit bertemu dengan wajah suram, muram dan tanpa senyum. Yang dijumpai hanyalah wajah cerah, senyum dan ceria, hati yang bahagia, pandangan yang bersahaja sambil berucap Al-Hamdulillah dan tangan yang selalu ingin bersalaman.



Itulah salah satu keistimewaan Hari Raya Idul Fithri termasuk pada bulan Syawal tahun 1429 H ini yang dihayati dengan bersyukur dan bergembira.
Pada Hari Raya Idul Fithri ini secara spontan terjadi proses mengunjungi, bertegur sapa dan bershilaturrami satu sama lain.
Dalam bentuk yang lebih formal, shilaturrahmi diwujudkan dalam Syawalan atau Halal Bi Halal yang selalu dihiasi dan dilengkapi dengan sarapan yang lezat dan nikmat baik kebutuhan fisik maupun mental terkadang juga dimeriahkan dengan hiburan musik yang kadang kala sulit membedakan mana perintah dan mana larangan.
Pada seputar hari lebaran dan ini terjadi tiap tahun kita selalu menyaksikan keajaiban kemanusiaan, yang muncul di kalangan ummat Islam, semangat bershilaturrahmi yang begitu kuat mengalahkan rintangan apapun.
Mereka yang tidak mudik menyempatkan diri keliling kampung atau bahkan keliling kota, bershilaturrahmi dengan tetangga, kerabat dan saudara. Mereka yang masih memiliki saudara atau orang tua di kampung, berusaha dengan segala daya dan upaya untuk mudik. Mereka bertemu, berjabat tangan untuk saling memaafkan sekaligus mengentalkan kembali persaudaraan.
Peristiwa rekonsiliasi (ishlah) kultural ini terjadi begitu saja tanpa ada seorang pun, baik tokoh agama maupun penguasa, yang memaksakannya. Di dalam Al-Quran maupun Hadits tidak ada anjuran spesifik soal tradisi itu. Karena itu wajar jika tradisi saling mengunjungi dan saling berhalal bi halal di hari lebaran hanya ada di nusantara kita Indonesia tercinta ini.
Meski begitu ummat Islam Indonesia umumnya menghayati tradisi peninggalan Wali Songo (Sembilan) tersebut sebagai bahagian yang tak terpisahkan dari Hari Raya Idul Fithri yang tidak hanya penuh kemenangan, tetapi juga saat terbaik untuk membersihkan hati dan seluruh diri.
Seorang yang telah berhasil menjalankan ibadah Puasa Ramadhan sebulan penuh, dan menyempurnakannya dengan Zakat Fithrah, masih akan tetap merasa kurang jika belum saling bermaafan dengan kawan, tetangga, jiran, handai taulan dan relasi apalagi dengan orang tua. Hati masih akan tetap merasa hampa jika pada saat lebaran tidak berada dalam suasana shilaturrahmi yang penuh tawa dan kehangatan persaudaraan.
Para elit ummat dimasa lalu secara futuristik agaknya sudah melihat kebutuhan ummat di masa depan dan kini, ketika mereka cenderung terpecah-belah oleh berbagai perbedaan dan pergesekan sosial, ekonomi, politik dan tanda gambar. Jawaban dari persoalan itu adalah tradisi shilaturrahmi dan saling memaafkan di hari Lebaran. Melalui tradisi ini kesalahan mendapat jalan untuk dimaafkan, dendam menemukan pintu untuk dilupakan, dan ketegangan sosialpun menemukan saat untuk dicairkan. Melalui tardisi itu pula, keretakan antar ummat dapat direkatkan dan relasi social yang positif dapat dibangun kembali.
Karena itu tradisi tersebut tidak sekedar Islami saja, tetapi juga mengandung pesan-pesan yang sangat universal untuk membangun harmoni kehidupan seluruh ummat manusia. Islam sendiri melalui prinsip Hablum Minannas sangat menekankan akan pentingnya harmonisasi itu. Tidak hanya antar ummat Islam saja tetapi dengan seluruh lapisan ummat manusia. Saling menghormati dan menghargai perbedaan masing-masing termasuk dalam internal dan eksternal persyarikatan Muhammadiyah.
Begitu pentingnya relasi horizontal itu sampai Allah menegaskan bahwa tidak akan mengampuni dosa sosial sebelum yang meminta maaf langsung kepada yang bersangkutan.
Karena seorang Muslim yang baik akan pantang menyakiti orang lain. Dan karena itu pula salah besar jika ada anggapan bahwa Islam agama teroris. Sebab ajaran Islam sangat tidak menyepakati tindakan-tindakan kekerasan apalagi jika korbannya orang yang tidak berdosa.
Tradisi shilaturrahmi dan saling memaafkan di hari lebaran merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menjaga harmoni kehidupan seperti itu. Dan itu salah satu makna Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin.
Acara Halal bi Halal ini banyak dilaksanakan oleh berbagai kalangan mulai dari strata yang paling bawah sampai tingkat nasional.
Pada saat shilaturrahmi ini bumi seakan seperti damai selama-lamanya, karena saling merelakan kesalahan, sakit hati ini dicabut, dendam dilebur menjadi senyum manis, permusuhan menguap keudara dan bayangan surga ada dipelupuk mata. Kata Nabi ada lima hal yang membuat damai di bumi ini: yaitu ukhuwah yang terjalin antara makhluk, manusia, senegara dan bangsa, seketurunan dan antara ummat Islam.
Terkadang shilaturahmi tidak berjalan lama, setelah kembali kepada kehidupan masing-masing mulai pula beranjak dari dunia surgawi. Orang kembali berbuat kesalahan. Sakit hari kembali bersemayam, dendan terpendam, permusuhan dikibarkan, cacimaki menjadi tradisi dan seringai menjadi hiasan bibir.
Dalam memasuki era Pemilu tahun 2009 nanti ketika kehidupan politik dipercepat, pergaulan bisa terbelah menurut afiliasi politiknya masing-masing. Maka melalui fasilitas Halal bi Halal ini adalah arena untuk menjauhi sifat yang tidak terpuji itu dan perlu dipupuk selalu sampai hari pemilihan umum yang sudah di ambang pintu.Di Bulan Syawal 1429 H ini hendak kita termasuk orang yang Hablum Minallah dan Hablum Minannas yaitu selalu menebarkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dengan prinsip shilaturrahmi
1. Al-Qur’an Melihat Anak Yatim
(Oleh: Drs. H. Aprizaldi

(Oleh: Drs. H. Aprizaldi)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah
baik. (Q.s. Al-Baqarah: 220)

Salah satu landasan perjuangan Muhammadiyah yang didirikan oleh (Pahlawan Nasional) KH (Muhammad Darwisy) Ahmad Dahlan (1868 - 1923 M) pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta adalah gerakan di bidang sosial (amal shalih) yang tergabung dalam Penolong Kesengsaraan Ummat (PKU) seperti menyantuni dan memelihara anak yatim.
Orang yang membiarkan anak yatim terlantar atau tidak mengajak orang lain untuk menyantuninya termasuk pendusta agama, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berusaha semaksimal mungkin agar anak yatim dapat hidup layak dan terhormat dalam strata kehidupan sosial.
Anak yatim adalah anak ditinggal mati oleh bapaknya sebelum baligh berakal. Persoalan anak yatim dalam Al-Qur’an, bukan sekadar persoalan sosial semata, tetapi menyangkut berbagai aspek mulai dari kehidupan dunia bahkan sampai kepada kehidupan di akhirat nanti karena mendlalimi anak yatim adalah dosa besar. Hal-hal besar menyangkut persoalan anak yatim yang perlu mendapat perhatian khusus berdasarlan Kitab Suci Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

A. Memperhatikannya
Allah telah mewajibkan kepada setiap hamba-Nya untuk memperhatikan anak yatim sebaik-baiknya agar mereka dapat hidup secara baik, layak dan wajar seperti saudara dan teman seusianya. Memperhatikan mereka itu adalah dengan cara:

1. Berbuat baik.
Tujuannya adalah agar mereka menjadi senang dan bahagia dalam menempuh kehidupan ini. Firman Allah:
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim. (Q.s. An-Nisaa’: 2)
Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim. (Q.s. Al-Baqarah: 83)

2. Memuliakan
Supaya anak yatim ini tidak berkecil hati serta merasa rendah diri dalam pergaulan sehari-hari, maka kita berkewajiban memberikan hak-haknya dan memuliakan mereka.
Adapun caranya adalah seperti Firman Allah.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. (Q.s. Al-Fajr: 17)

3. Mengurusnya
Allah mewajibkan kepada kita untuk mengurus anak yatim agar mereka tidak terlantar, menderita dan terlunta-lunta yang pada akhirnya anak ini menderita lahir dan batinnya.
Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. (Q.s. An-Nisaa’: 127)

4. Menggaulinya
Menggauli mereka seperti bergaul dengan keluarga sendiri, maksudnya supaya mereka dapat hidup secara normal tidak merasa diasingkan. Seperti firman Allah:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu. (Q.s. Al-Baqarah: 220)

5. Memberikan harta dan makanan
Memberi mereka apa yang kita diberikan kepada keluarga tanpa membedakannya, termasuk makan dan minum adalah termasuk kewajiban terhadap anak yatim. Baik diwaktu sempit maupun waktu lapang. Janganlah keluarga kita kekenyangan sementara anak yatim merintih kelaparan. Sebagai mana Firman Allah:
“Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin. (Q.s. Al-Baqarah: 215)
Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin. (Q.s. Al-Baqarah: 177)
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anakyatim dan orangyang ditawan. (Q.s. Al-Insan: 8)
Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. (Q.s. Al-Balad: 14-15)

6. Memperbaiki tempat tinggalnya
Salah satu tujuan memperbaiki tempat tinggalnya seperti yang dilakukan Khaidir as. adalah untuk melindungi hartanya agar tidak hilang, sia-sia, terbengkalai, habis sebelum ia dewasa atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Karena mereka belum mengerti cara memelihara harta yang ditinggalkan sebagai warisan. Firman Allah:
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. (Q.s. Al-Kahfi: 82).

B. Hak Hak Anak Yatim
Ditakdirkan menjadi anak yatim tetap mempunyai beberapa hak yang harus diterima dari sesama Muslim. Wajib ditunaikan agar tidak dikategorikan sebagai orang yang mendlalimi anak yatim. Di antara hak- anak yatim itu adalah:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka. (Q.s. An-Nisaa’: 2)
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Q.s. An-Nisaa’: 6)

1. Harta warisan
Dalam harta warisan ada hak anak yatim yang wajib diberikan meskipun mereka masih sangat kecil. Firman Allah:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (Q.s. An-Nisaa’: 5)

2. Gharimah
Gharimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh melalui pertempuran Fi Sabilillah. Dalam harta gharimah ada terdapat hak anak yatim. Sebagai mana Firman Allah:
Ketahuilah, sungguh apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. (Q.s. Al-Anfal: 41)

3. Fai ‘i
Fai’i adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh Islam tanpa melalui peperangan. Di dalamnya juga terdapat harta anak yatim yang harus diberikan kepadanya. Sebagaimana Firman Allah:
Apa saja harta rampasan (jai’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Q.s. Al-Hasyr: 7)

C. Larangan Terhadap Anak Yatim
Di zaman jahiliyah perlakuan orang terhadap anak yatim sudah berada di luar perikemanusiaan, padahal secara fitrah statusnya tidak berbeda dengan manusia mana pun termasuk dengan anaknya sendiri. Allah telah menetapkan beberapa larangan yang wajib dijauhi, agar terhadap anak yatim tidak terdlalimi. Di antaranya adalah:
1. Berbuat sewenang-wenang
Berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim sangat dilarang oleh Allah. Sebagaimana firman Allah:
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (Q.s. Adh-Dhuha: 9)

2. Menukar, memakan dan mencampur hartanya
Ketiga perbuatan tersebut di atas sebagai perbuatan menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan anak yatim. yang sangat dilarang oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. (Q.s. An-Nisaa’: 2)
Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (Q.s. An-Nisaa’: 6)

3. Mendekati hartanya
Mendekati harta anak yatim dilarang apabila bermaksud untuk mengambilnya secara tidak benar, sebagaimana firman Allah:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. (Q.s. Al-An ‘am: 152)
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa. (Q.s. Al-Isra’: 34)

4. Menghardik
Menghardik anak yatim termasuk dosa, sebagaimana firman Allah:
Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Q.s. Al-Ma’un: 2)

D. Sanksi Berbuat Dlalim Kepada Anak Yatim
Dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan dengan jelas dan tegas, bahwa mendlalimi anak yatim termasuk salah satu dosa besar, sampai yang mendlalimi tersebut dikategorikan sebagai:
1. Dosa besar
Sebagai akibat dari dosa besar, maka Allah hanya akan mengampuninya apabila yang bersangkutan bertaubat kepada Allah dengan Taubat Nashuha, sebagaimana firman Allah:
Berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.s. An-Nisaa’: 2)

2. Pendusta Agama
Tidak menempatkan anak yatim sebagai mana mestinya termasuk pendusta agama. Sebagaimana firman Allah:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Q.s. Al-Ma’un: 1 - 2)

3. Masuk neraka
Sebagai akibat dari perbuatan mendlalimi anak yatim akan dimasukan ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dlalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.s. An-Nisaa’: 10).
Drs. H. Aprizaldi, Ketua MTDK PCM Curup Rejang Lebong, Bengkulu
16th November 2008, 19:23
PELAJARAN DARI IBADAH QURBAN
Oleh: Afrizaldi

Pelaksanaan ibadah haji maupun ibadah qurban keduanya mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan keluarga nabi Ibrahim untuk dijadikan pelajaran sepanjang masa. Bila disimak kembali satu episode menarik dari keluarga panutan ummat tersebut, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Shaffat/37 ayat 100-110, dapatlah dipahami betapa beratnya perintah Allah yang dibebankan kepada nabi Ibrahim. Bila direnungkan rangkaian ayat mengenai penyemblihan Isma’il tersebut, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Berikut ini beberapa di antaranya.
1. Qurban dan Kecintaan kepada Allah
Sudah berpuluh tahun berumah tangga, Ibrahim belum juga mendapatkan anak. Cukup lama ia mendambakan anak sebagai pelanjut risalah tauhid. Keinginan tersebut akhirnya terkabul jua setelah ia berusia senja. Bisa dibayangkan betapa senang dan gembiranya hati Ibrahim. Betapa besarnya cintanya kepada si buah hati yang telah lama dinantikannya itu. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Belum lama berlangsung cinta dan kasih sayang antara kedua bapak dan anak itu, kemesraan mereka itu harus segera diakhiri dengan datangnya titah Allah swt. Isma’il harus disemblih atas perintahNya! Sebagai manusia, Ibrahim pun mengalami konflik batin yang hebat dalam dirinya. Tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa cinta kepada anak, istri dan harta tidak dapat disejajarkan dengan atau melebihi cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala-galanya, termasuk cinta kepada diri sendiri.
Manusia memang dibolehkan mencintai sanak keluarga, harta benda, pangkat dan sebagainya karena semua itu bersifat alamiah, yakni sesuai dengan fitrah manusia. Setiap orang memiliki keinginan dan kecendrungan seperti itu (QS. Ali Imran/03: 14). Bagi seorang muslim, cinta kepada Allah tiada bandingannya. Cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada apapun dan siapapun. Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. al-Baqarah/02: 165). Bagi seorang muslim, cinta kepada Allah tiada batasnya, sementara cinta kepada yang lain selain Allah mesti ada batasnya, yaitu sejauh yang diizinkan dan diriha’i oleh Allah. Nabi Ibrahim dapat menempatkan sepenuhnya posisi cinta kepada anak dibandingkan cinta kepada Allah. Maka Ibrahim memutuskan menerima dengan ikhlas perintah Allah untuk mengorbakan putranya. Isma’il pun demikian pula, ia rela menerima perintah penyemblihan itu (QS. al-Shaffat/37: 102). Ia menyadari bahwa cinta kepada Allah mesti melebihi cintanya kepada jiwa dan raganya .
Inilah pelajaran cinta yang sejati yang diperoleh dari kisah keluarga teladan. Pelajaran ini harus selalu diulang-ulang. Teladan cinta ini sangat relevan untuk kondisi sekarang. Manusia zaman modern sekarang tidak lagi menghiraukan batas-batas antara perintah dan larangan agama demi memburu kehidupan duniawi. Karena kecintaan kepada dunia yang berlebihan, banyak orang yang rela mengorbankan apa saja, termasuk aqidah dan harga diri. Bila Ibrahim rela mengorbankan Isma’il buah hatinya, mampukah kita mengorbankan “isma’il-isma’il” yang kita miliki demi perintah Allah?
2. Qurban dan Semangat Pengorbanan
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dalam rangkaian ayat 100-110 surat al-Shaffat/37 adalah berkaitan dengan qurban (penyemblihan hewan ternak), yang kemudian dilembagakan sebagai ibadah mahdah setiap tahun bagi ummat Islam. Qurban berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata kerja qariba yang berarti dekat atau mendekatkan diri. Seseorang yang mencintai orang lain akan berusaha mendekatkan diri kepada orang yang dicintainya, walaupun ia harus mengorbankan sesuatu yang ia milikinya. Dalam pengertian ini, seorang muslim yang mencintai Allah akan berusaha mendekatiNya dengan apa saja yang diinginkanNya. Demi yang kita cintai, kita harus rela berkorban untuknya.
Ibadah qurban dilembagakan dengan menyemblih hewan ternak setiap ‘Idul Adha, sebagaimana perintahNya: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah (QS. al-Kautsar/108: 02). Secara formal, kita hanya menyemblih hewan pada Hari Raya Qurban atau Hari Tasyriq. Namun secara spritual, kita dapat menangkap maksud yang lebih luas, yaitu bagaimana agar kita dapat melatih semangat berkorban demi mendekatkan diri kepada Allah. Semangat berkorban bisa diwujudkan dalam bentuk korban waktu, korban tenaga, korban pikiran, korban harta atau apapun yang dapat dikorbankan untuk memperjuangkan kebaikan di muka bumi.
3. Qurban dan Pendidikan Anak
Pelajaran ketiga dari sejarah ibadah qurban adalah keberhasilan seorang ayah dalam mendidik keluarganya menjadi keluarga yang patuh dan taat. Sebagai anak, Isma’il bukan hanya telah berbakti kepada orang tua, tetapi juga seorang yang memiliki iman yang kuat dan tangguh kepada Allah. Kesediaan Isma’il untuk dikorbankan oleh ayahnya menunjukkan betapa tingginya kualitas iman yang dimilikinya. Semua itu adalah berkat hasil didikkan dari orang tua yang bijaksana. Hanya orang tua yang memiliki kualitas jiwa yang tinggi pula yang dapat melahirkan anak-anak dengan kualitas yang tahan uji. Perhatikanlah bagaimana Isma’il menanggapi berita penyemblihan dirinya. Ia bukan saja dapat menerima dengan tabah, tetapi juga turut menghilangkan kebimbangan bapaknya jika memang ada. Ia yakinkan bapaknya bahwa ia akan sabar menerima keputusan dari Allah. Dapatkah kita membayangkan sikap yang sama pada anak-anak kita bila kita dihadapkan kepada pilihan yang amat berat seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim? Dapatkah kita mendidik anak-anak kita menjadi anak yang shaleh seperti halnya Isma’il?
Untuk mendapatkan anak yang shaleh, orang tua harus bersungguh-sungguh memberikan pendidikan yang utuh (tarbiyah mutakamilah), yaitu pendidikan yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Kepada anak harus diberikan pedidikan aqidah, ibadah dan akhlak, disamping mengisi kebutuhan intelektualnya dengan bermacam-macam ilmu pengetahuan dan teknologi, supaya fitrah keberagamaannya dapat dipelihara dan dikembangkan menjadi muslim yang kaffah. Pendidikan lengkap kepada anak adalah kebutuhan yang sangat mendesak, terutama sekali di zaman sekarang ini yang penuh dengan berbagai macam kerusakan dan kemerosotan moral dan akhlak.
4. Qurban dan Kemulian Manusia
Dalam sejarah penyemblihan anaknya Isma’il, nabi Ibrahim telah membuktikan bahwa manusia pun dapat dikorbankan jika panggilan Allah telah datang. Tetapi akhirnya Allah membatalkan penyemblihan Isma’il itu dan menggantinya dengan seekor kibas yang gemuk, sebagaimana diterangkan dalam berfirmanNya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (QS. al-Shaffat/37: 107-108). Melalui kejadian tersebut, Allah bermaksud menghapus tradisi pengorbanan manusia oleh manusia. Pembatalan itu sekaligus membuktikan kasih sayang Allah kepada manusia karena Dia telah menjadikan mereka sebagai makhluk yang mulia. (Penulis adalah bendahara Dewan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Rejang Lebong)